[ ditulis oleh: Jakob Sumardjo, pendidik ] Hubungan pendidikan dan uang adalah kejahatan. Pendidikan mirip kependetaan, mengubah manusia menjadi etis dalam kehendak, pikiran, dan perbuatan. Dalam zaman yang materialistis, kapitalistis, dan hedonistis ini uang adalah dewa baru, yang di masa lampau justru dinilai berhala.
Dalam masyarakat tani zaman dahulu, yang kaya tanpa kepemilikan sawah memadai adalah penyembah setan yang menganut ilmu pesugihan alias kekayaan. Menjadi kaya raya, apa pun jalannya, sekarang ini adalah kewajaran, termasuk menyelenggarakan pendidikan.
Pendidikan adalah kebutuhan kolektif karena menentukan hari depan hidup bersama. Sangatlah aneh apabila pendidikan justru mendatangkan penderitaan kolektif. Banyak orangtua tak mampu menyekolahkan anak-anak mereka karena tiadanya biaya pendidikan. Pendidikan semakin mahal.
Apakah masa depan bangsa ini harus dibeli? Bukankah mereka yang tak terdidik akhirnya akan menjadi masalah bagi yang terdidik? Ataukah akan kembali ke zaman Yunani Kuno yang membedakan warga negara bebas kaum terdidik dengan kaum hamba sahaya yang tak terdidik?
Tanggung jawab pendidikan jelas di tangan negara karena masa depan bangsa ini ada pada negara. Oleh ketakmampuan negara mengelola pendidikan dan masa depannya, dengan alasan apa pun, akhirnya sekolah diserahkan kepada pihak swasta. Orang dengan mudah dapat menghitung jumlah lembaga pendidikan swasta jauh lebih banyak daripada lembaga pendidikan negeri.
Yang terjadi sekarang adalah pasar pendidikan dan persaingan tak sehat di antara lembaga-lembaga pendidikan swasta. Ada lembaga pendidikan swasta yang laris dan ada yang kurang laku dan akhirnya gulung tikar. Namun, bisnis pendidikan terus berlangsung. Patah tumbuh hilang berganti. Menawarkan sekolah tak berbeda dengan menawarkan produk makanan.
Dalam pasar bebas penyelenggaraan pendidikan ini, sekolah-sekolah favorit dibanjiri murid-murid baru sehingga, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, harga jual sekolah juga ditinggikan. Sekolah-sekolah gurem tetap saja tak didatangi orangtua murid meski sudah menurunkan harga masuk.
Saya pernah menjadi guru swasta di lembaga pendidikan yang tergolong favorit di kota kami. Semua rekan guru dari sekolah-sekolah lain, termasuk sekolah negeri, selalu menyangka gaji saya sebagai guru tentu tinggi.
Saya hanya bisa jawab: gaji saya sebagai guru cukup diambil dari uang sekolah dua murid sebulannya. Padahal, murid-murid sekolah berjumlah sekitar 600 orang. Gedung sekolah tetap tua, bangku-bangku sekolah tetap tua, dan perpustakaan sekolah tetap berisi buku-buku tua.
Biaya pendidikan dalam model sekolah yang selama ini berkembang di Indonesia sebenarnya tak setinggi seperti perolehannya. Guru-gurunya tetap miskin. Gedung sekolah tak pernah bertambah. Laboratorium ketinggalan zaman. Ruang perpustakaan juga tetap sempit.
Kalau niat lembaga-lembaga pendidikan itu memang tulus demi masa depan budaya bangsa, jumlah kelebihan uang dari bisnis pendidikannya itu dapat dipakai untuk mengembangkan sekolah baru yang, seperti sekolah negeri, selalu diberi nomor seri sekolah.
Pihak pemerintah juga tak mempertimbangkan jumlah sekolah dengan jumlah usia sekolah di wilayahnya. Akibat tak berimbangnya kebutuhan dengan penyediaan sekolah, ”rebutan” sekolah selalu terjadi sehingga permainan uang juga menjadi wajar. Seorang teman dengan cerdik memindahkan anaknya yang tak naik kelas di sebuah kota besar ke sebuah sekolah negeri favorit di sebuah kabupaten luar provinsi.
Hujan tak merata dalam pendidikan di Tanah Air ini juga penyebab uang sekolah mencekik leher di kota-kota besar. Persoalan bangsa Indonesia sejak lama adalah seni manajemen. Sekolah manajemen ada di mana-mana, tetapi tak mampu mengubah watak bangsa. Karena tak mampu mengatur, bangsa ini juga susah diatur.
Semua itu membutuhkan penghitungan ulang segala sesuatunya di dunia pendidikan. Mengapa di kota-kota besar orang berebut sekolah buat anak-anaknya, sedangkan di kota-kota kabupaten tak terjadi peristiwa serupa?
Di kota-kota besar sekarang ini sedang terjadi peristiwa Athena kuno: mereka yang kaya berpendidikan dan berkerah putih, sedangkan mereka yang miskin masuk kasta paria sebagai tenaga kasar.
Indonesia begitu beragam sehingga segala kemungkinan pemecahan masalah terbuka: tinggal butuh otak cerdas menjalin sistem hubungan saling melengkapi dalam kesatuan organis. Siapakah orang-orang itu?
Pendidikan adalah kebutuhan kolektif karena menentukan hari depan hidup bersama. Sangatlah aneh apabila pendidikan justru mendatangkan penderitaan kolektif. Banyak orangtua tak mampu menyekolahkan anak-anak mereka karena tiadanya biaya pendidikan. Pendidikan semakin mahal.
Apakah masa depan bangsa ini harus dibeli? Bukankah mereka yang tak terdidik akhirnya akan menjadi masalah bagi yang terdidik? Ataukah akan kembali ke zaman Yunani Kuno yang membedakan warga negara bebas kaum terdidik dengan kaum hamba sahaya yang tak terdidik?
Tanggung jawab pendidikan jelas di tangan negara karena masa depan bangsa ini ada pada negara. Oleh ketakmampuan negara mengelola pendidikan dan masa depannya, dengan alasan apa pun, akhirnya sekolah diserahkan kepada pihak swasta. Orang dengan mudah dapat menghitung jumlah lembaga pendidikan swasta jauh lebih banyak daripada lembaga pendidikan negeri.
Yang terjadi sekarang adalah pasar pendidikan dan persaingan tak sehat di antara lembaga-lembaga pendidikan swasta. Ada lembaga pendidikan swasta yang laris dan ada yang kurang laku dan akhirnya gulung tikar. Namun, bisnis pendidikan terus berlangsung. Patah tumbuh hilang berganti. Menawarkan sekolah tak berbeda dengan menawarkan produk makanan.
Dalam pasar bebas penyelenggaraan pendidikan ini, sekolah-sekolah favorit dibanjiri murid-murid baru sehingga, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran, harga jual sekolah juga ditinggikan. Sekolah-sekolah gurem tetap saja tak didatangi orangtua murid meski sudah menurunkan harga masuk.
Seberapa mahal harga pendidikan?
Menilik kinerja pendidikan yang selama ini teramati, hampir tak terjadi perubahan berarti dalam proses pendidikan di tingkat mana pun. Mengapa biaya pendidikan terus membubung tinggi? Ke mana larinya keuntungan bisnis pendidikan ini?Saya pernah menjadi guru swasta di lembaga pendidikan yang tergolong favorit di kota kami. Semua rekan guru dari sekolah-sekolah lain, termasuk sekolah negeri, selalu menyangka gaji saya sebagai guru tentu tinggi.
Saya hanya bisa jawab: gaji saya sebagai guru cukup diambil dari uang sekolah dua murid sebulannya. Padahal, murid-murid sekolah berjumlah sekitar 600 orang. Gedung sekolah tetap tua, bangku-bangku sekolah tetap tua, dan perpustakaan sekolah tetap berisi buku-buku tua.
Dalih belaka
Bahwa sekolah telah berkembang menjadi semacam badan usaha bukan dongeng modern. Kalau Anda punya modal cukup, daripada ditanam dalam bisnis film atau kayu, lebih baik ditanam di bisnis pendidikan. Pemeo bahwa biaya pendidikan memang mahal adalah dalih untuk tetap memungut biaya sekolah yang tinggi.Biaya pendidikan dalam model sekolah yang selama ini berkembang di Indonesia sebenarnya tak setinggi seperti perolehannya. Guru-gurunya tetap miskin. Gedung sekolah tak pernah bertambah. Laboratorium ketinggalan zaman. Ruang perpustakaan juga tetap sempit.
Kalau niat lembaga-lembaga pendidikan itu memang tulus demi masa depan budaya bangsa, jumlah kelebihan uang dari bisnis pendidikannya itu dapat dipakai untuk mengembangkan sekolah baru yang, seperti sekolah negeri, selalu diberi nomor seri sekolah.
Pihak pemerintah juga tak mempertimbangkan jumlah sekolah dengan jumlah usia sekolah di wilayahnya. Akibat tak berimbangnya kebutuhan dengan penyediaan sekolah, ”rebutan” sekolah selalu terjadi sehingga permainan uang juga menjadi wajar. Seorang teman dengan cerdik memindahkan anaknya yang tak naik kelas di sebuah kota besar ke sebuah sekolah negeri favorit di sebuah kabupaten luar provinsi.
Hujan tak merata dalam pendidikan di Tanah Air ini juga penyebab uang sekolah mencekik leher di kota-kota besar. Persoalan bangsa Indonesia sejak lama adalah seni manajemen. Sekolah manajemen ada di mana-mana, tetapi tak mampu mengubah watak bangsa. Karena tak mampu mengatur, bangsa ini juga susah diatur.
Mengapa demikian?
Karena orang hanya percaya pada buku-buku. Manajemen adalah soal kontekstual. Hidup konkret bangsa ini ada di bawah buku-buku, yakni buku-buku asing dari persoalan konteks yang berbeda.Semua itu membutuhkan penghitungan ulang segala sesuatunya di dunia pendidikan. Mengapa di kota-kota besar orang berebut sekolah buat anak-anaknya, sedangkan di kota-kota kabupaten tak terjadi peristiwa serupa?
Di kota-kota besar sekarang ini sedang terjadi peristiwa Athena kuno: mereka yang kaya berpendidikan dan berkerah putih, sedangkan mereka yang miskin masuk kasta paria sebagai tenaga kasar.
Indonesia begitu beragam sehingga segala kemungkinan pemecahan masalah terbuka: tinggal butuh otak cerdas menjalin sistem hubungan saling melengkapi dalam kesatuan organis. Siapakah orang-orang itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar